Comedy, Indie and Creativity

Comika

Selebrita

Gen Z

Indie

Video

Selasa, 01 Juli 2025

The Memory Police: Ketika Ingatan Pun Bisa "Dihapus"

 



Loetju.id - Halo, guys! Pernah kebayang gak sih kalau bangun tidur terus tiba-tiba ada benda atau bahkan konsep abstrak yang lenyap dari dunia? Misalnya, kamu lagi asyik minum kopi, eh besoknya kopi itu udah gak ada, dan yang lebih creepy, ingatan tentang kopi juga ikut hilang? Nah, kalau kamu mikir ini cuma ada di film sci-fi, well, Yoko Ogawa lewat novel The Memory Police ini bakal ngajak kita ngerasain sensasi itu. Novel ini bukan cuma sekadar cerita fiksi biasa yang bikin kita mikir, "Kok bisa ya?", tapi juga semacam cermin buat ngeliat betapa rapuhnya kebebasan dan identitas kita kalau ada kekuatan yang coba-coba ngontrol segalanya. Jadi, siapkah kalian buat menyelami dunia di mana ingatan itu bisa jadi barang yang langka dan sangat berharga?


Latar Belakang: Apa Itu Distopia, dan Kenapa Penting?
Oke, sebelum kita bedah habis-habisan novel ini, ada baiknya kita refresh dulu nih, apa sih sebenarnya distopia itu? Kalau diibaratkan, distopia itu kayak bad cop atau sisi gelapnya dari utopia. Kalau utopia itu adalah dunia ideal yang semua orang mau (kayak liburan di pantai tiap hari tanpa perlu kerja), nah distopia itu kebalikannya. Ini adalah gambaran masyarakat yang rusak parah, seringkali dikendalikan oleh rezim yang otoriter, dan hidup warganya penuh tekanan. Intinya, dunia yang "kayaknya udah selesai" karena segala kebebasan udah dicabut.
Biasanya, novel-novel distopia punya ciri khas yang bikin kita langsung, "Oh, ini distopia!" Misalnya:


• Pemerintahan atau Kekuatan Otoriter: Ada entitas yang punya kuasa absolut dan seenaknya sendiri ngatur hidup orang. Mereka bisa jadi pemerintah, organisasi rahasia, atau bahkan konsep yang enggak kelihatan.

• Hilangnya Individu: Warga di sana cenderung kehilangan identitas pribadi mereka. Mereka cuma jadi bagian dari mesin besar yang dikendalikan, dan individualitas dianggap bahaya.

• Kontrol Informasi dan Propaganda: Informasi itu kayak oksigen bagi masyarakat distopia. Makanya, seringkali informasi dimanipulasi, dibatasi, atau bahkan ada propaganda gede-gedean biar warga enggak mikir kritis.

• Perasaan Putus Asa dan Keterasingan: Tokoh-tokohnya sering merasa terjebak, enggak berdaya, dan sendirian. Harapan itu kayak ilusi yang susah digapai.

• Teknologi yang Salah Guna: Teknologi yang seharusnya bantu manusia, malah jadi alat buat ngontrol atau memata-matai.


Novel distopia klasik kayak 1984-nya George Orwell atau Brave New World-nya Aldous Huxley itu udah jadi "kitab suci" buat ngelihat gimana bahayanya kalau sebuah masyarakat dikontrol habis-habisan sampai ke pikiran. Mereka ngasih warning keras buat kita.


Membedah The Memory Police dengan Kacamata Distopia
Nah, sekarang kita masuk ke bagian serunya: gimana sih The Memory Police ini fit banget sama ciri-ciri distopia yang udah kita bahas tadi? Novel ini bercerita tentang seorang penulis novel muda di sebuah pulau yang aneh. Di pulau ini, benda-benda, bahkan hal-hal abstrak, bisa "menghilang". Bukan hilang kayak kecopetan ya, tapi hilang dari keberadaan dan dari ingatan semua orang. Contohnya, ada hari di mana semua lonceng di pulau itu menghilang, dan besoknya, enggak ada yang ingat lagi lonceng itu apa atau bunyinya gimana. Yang bikin merinding, ada kelompok misterius bernama Memory Police yang tugasnya mastiin semua yang "dihapus" itu beneran hilang, termasuk dari memori kolektif. Mereka enggak segan-segan nyari dan "menghilangkan" orang yang dicurigai masih menyimpan ingatan yang udah dihapus.


1. Kekuatan Otoriter yang Tak Terlihat (Tapi Ada Banget):
Di The Memory Police, kita enggak ketemu dengan sosok diktator atau pemerintah yang jelas-jelas ngomong, "Saya yang ngatur!" Tapi, keberadaan Memory Police itu sendiri udah jadi representasi kekuasaan otoriter yang menakutkan. Mereka punya wewenang buat memutuskan apa yang boleh ada dan apa yang harus hilang. Mereka bisa masuk ke rumah siapa pun, menggeledah, dan menyeret pergi siapa pun yang dianggap "berbeda" karena masih punya ingatan yang udah enggak seharusnya ada. Ini nunjukkin kalau kontrol itu enggak cuma di level negara, tapi sampai ke level personal banget, bahkan ke dalam pikiran kita.

2. Hilangnya Individu dan Esensi Kemanusiaan:
Ini poin paling nendang di novel ini. Kalau ingatan tentang "pita" atau "burung" aja bisa hilang, bayangin kalau ingatan tentang keluarga, cinta, atau bahkan diri sendiri ikut lenyap? Penghapusan ini secara perlahan mengikis identitas individu dan kolektif. Orang-orang jadi robot yang enggak punya masa lalu, enggak punya memori yang membentuk siapa mereka. Tokoh utama, yang seorang penulis, mati-matian berusaha melawan penghapusan ini dengan menyembunyikan editornya yang entah kenapa masih bisa mengingat hal-hal yang sudah dihapus. Perjuangan dia buat mempertahankan ingatan itu bukan cuma soal mempertahankan benda, tapi mempertahankan siapa dirinya dan apa yang penting dalam hidup. Ini kayak, "Kalau ingatan saya hilang, apa yang tersisa dari saya?"

3. Manipulasi Realitas dan Kontrol Informasi:
Penghapusan objek dan ingatan itu sendiri adalah bentuk kontrol informasi yang paling ekstrem dan mind-blowing. Bukan cuma informasi yang disaring atau dimanipulasi, tapi realitas itu sendiri yang diubah. Apa yang kemarin ada, hari ini bisa jadi enggak pernah ada. Masyarakat dipaksa untuk menerima realitas yang terus bergeser dan diatur oleh kekuatan tak terlihat. Ini mirip banget dengan bagaimana di era digital sekarang, hoax dan disinformasi bisa bikin kita bingung mana yang fakta dan mana yang fiksi. Bayangin, kalau yang dihapus bukan cuma berita palsu, tapi memang "benda"-nya sekalian!

4. Keputusasaan dan Perlawanan yang Sunyi:
Meskipun banyak warga pulau yang pasrah dan menerima nasib, ada juga yang mencoba melawan. Perlawanan ini enggak kayak demo besar-besaran atau revolusi bersenjata. Tapi, lebih ke perlawanan yang sangat personal dan sunyi. Tokoh utama yang berusaha keras menyembunyikan editornya adalah bentuk perlawanan paling nyata. Tindakan-tindakan kecil ini nunjukkin kalau di tengah sistem yang menindas, masih ada secercah harapan. Ini juga nunjukkin kalau nilai-nilai kemanusiaan kayak empati, keberanian, dan keinginan buat mempertahankan kebenaran itu enggak pernah mati, meskipun dalam bentuk yang paling rapuh sekalipun.


Kesimpulan: Lebih dari Sekadar Kisah Seram
The Memory Police adalah contoh distopia yang brilian dan relevan banget di zaman kita. Ogawa enggak perlu nampilin kekerasan fisik yang brutal buat nunjukkin betapa menakutkannya sebuah rezim otoriter. Cukup dengan ide "menghapus" ingatan, dia udah berhasil nunjukkin bagaimana sebuah masyarakat bisa kehilangan esensinya. Novel ini ngajak kita buat mikir: seberapa penting sih ingatan itu buat kita sebagai manusia? Apa jadinya kalau ingatan kita bisa diutak-atik atau bahkan dihapus?

Jadi, setelah baca analisis ini, gimana menurut kalian? Apakah kita, sebagai individu dan masyarakat, sudah cukup kuat untuk melawan kalau ingatan kita, atau bahkan realitas kita, coba dihapus? Dan, apa sih hal paling berharga yang akan kalian perjuangkan agar tidak lenyap dari ingatan?



Oleh: 
Zsa Zsa Tsabita Mizhari 
Mahasiswi Sastra Jepang 
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang 2024/2025

Totto-chan, Si Anak Ajaib yang Nggak Ngebosenin

 



Loetju.idPernah nggak sih kalian ngerasa kalau masa kecil itu penuh teka-teki, misteri, dan kadang bikin kita mikir, "Kok bisa ya kayak gitu?" Nah, novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Jendela ini ngajak kita buat menyelami dunia seorang anak dengan sudut pandang yang unik dan jujur. Totto-chan, si karakter utama, bukan cuma sekadar anak kecil biasa. Dia punya cara pandang yang beda, bikin kita geleng-geleng kepala sekaligus senyum-senyum sendiri. Karya Tetsuko Kuroyanagi ini bukan cuma cerita anak-anak lho, tapi juga refleksi mendalam tentang pendidikan, kebebasan, dan gimana lingkungan bisa ngebentuk kepribadian seseorang. Jadi, siap-siap ya buat diajak mikir bareng tentang Totto-chan yang super duper asyik ini, kira-kira apa ya yang bikin dia begitu spesial?


Latar Belakang

Ngulik Totto-chan dari Sudut Pandang Psikoanalisis dan Sosiologi Sastra
Oke, sekarang kita masuk ke bagian inti, gimana sih novel ini bisa kita bedah pakai teori Psikoanalisis dan Sosiologi Sastra? Tenang, nggak bakal bikin pusing tujuh keliling kok! Kita bakal bahas satu per satu biar gampang dicerna.


Psikoanalisis: Menguak Dunia Batin Totto-chan
Teori psikoanalisis ala Sigmund Freud itu ibarat kunci buat ngebuka kotak pandora pikiran dan perasaan Totto-chan. Kita bisa lihat gimana id, ego, dan superego-nya Totto-chan saling berinteraksi, membentuk kepribadiannya yang unik.

Id-nya Totto-chan ini kelihatan banget dari keinginannya yang spontan dan nggak terbatas, kayak pas dia sering keluar-masuk jendela kelas atau semangat banget pas disuruh nyanyi di atas pohon. Dia cenderung ngikutin kesenangan dan dorongan primitif tanpa banyak mikir konsekuensi atau aturan. Ini adalah sisi Totto-chan yang murni, penuh rasa ingin tahu, dan sedikit "liar" dalam batas kewajaran anak-anak.

Nah, ego Totto-chan mulai berkembang pas dia berhadapan sama realitas yang nggak selalu sesuai keinginannya. Contohnya, pas dia harus pindah sekolah karena "kenakalan"nya di sekolah lama. Awalnya, mungkin ada resistensi dari id-nya, tapi egonya belajar beradaptasi dan mencari cara buat bisa diterima di lingkungan baru, yaitu di Tomoe Gakuen. Sekolah ini jadi semacam "laboratorium" buat egonya berkembang. Di Tomoe, dia nggak langsung dihukum atau dibatasi secara keras, tapi malah diajak buat memahami dirinya dan lingkungannya. Kepala Sekolah Kobayashi yang bijak memberikan kebebasan yang terarah, memungkinkan Totto-chan mengembangkan egonya secara sehat, belajar mengelola dorongan id-nya tanpa harus menekan total sisi spontannya.

Terus, gimana dengan superego-nya? Superego Totto-chan ini terbentuk dari nilai-nilai dan norma yang dia dapat, terutama dari orang tuanya dan Kepala Sekolah Kobayashi. Meskipun Totto-chan terkesan "nakal" atau "berbeda" di awal, dia punya hati yang baik, rasa empati yang tinggi, dan keinginan untuk berbuat benar. Misalnya, dia peduli sama teman-temannya yang berbeda, berusaha jujur, dan belajar untuk berbagi. Kepala Sekolah Kobayashi dengan pendekatannya yang unik, justru membantu Totto-chan mengembangkan superego-nya tanpa harus menekan id dan egonya. Metode pendidikan yang tidak menghakimi tapi membimbing, membuat Totto-chan tumbuh jadi pribadi yang otentik, nggak cuma patuh tapi juga punya kesadaran moral yang kuat dari dalam dirinya.

Selain itu, kita juga bisa lho, ngelihat mekanisme pertahanan diri Totto-chan. Contohnya, pas dia merasa nggak dimengerti di sekolah lamanya, dia mungkin bereaksi dengan tindakan yang "dianggap" nakal sebagai bentuk regresi (kembali ke perilaku yang lebih kekanak-kanakan) atau proyeksi (mengalihkan perasaan tidak nyaman ke lingkungan). Dia mungkin merasa "tidak cocok" dan mengekspresikannya melalui perilaku yang dianggap tidak biasa. Tapi, di Tomoe Gakuen, dia menemukan lingkungan yang suportif dan pengertian, sehingga mekanisme pertahanan dirinya nggak lagi dominan dalam bentuk "kenakalan" tapi lebih ke eksplorasi diri dan kreativitas. Seru kan, ngeliat sisi psikologis Totto-chan ini yang bikin kita makin paham kenapa dia bertingkah begitu?


Sosiologi Sastra: Totto-chan dan Lingkungannya
Nggak cuma dari sisi psikologis, novel ini juga kaya banget buat dianalisis pakai kacamata Sosiologi Sastra. Novel ini nunjukkin gimana hubungan antara individu (Totto-chan) dan masyarakat (lingkungan sekolah dan keluarga) itu saling memengaruhi dan membentuk.

Tomoe Gakuen ini bukan cuma sekadar sekolah, tapi juga representasi dari sebuah utopia sosial dalam lingkup mikro. Di sini, nilai-nilai pendidikan konvensional yang kaku dibongkar habis. Kepala Sekolah Kobayashi membangun sistem yang menekankan kebebasan berekspresi, kreativitas, dan penghargaan terhadap individualitas setiap murid. Ini kontras banget sama sistem sekolah di luar yang cenderung seragam, kaku, dan menekan kreativitas anak-anak. Novel ini jadi semacam kritik sosial terhadap sistem pendidikan yang otoriter dan tidak manusiawi yang mungkin ada di Jepang pada masa itu, dan mungkin juga di tempat lain.

Kita bisa lihat juga struktur sosial yang ada di Tomoe Gakuen. Meskipun ada Kepala Sekolah sebagai pimpinan, hubungan antara guru dan murid itu lebih cair dan setara. Nggak ada hierarki yang bikin murid takut atau minder. Ini nunjukkin gimana institusi pendidikan bisa jadi agen perubahan sosial, lho, dengan menawarkan alternatif model pendidikan yang lebih inklusif dan humanis.

Selain itu, novel ini juga menggambarkan stratifikasi sosial secara implisit. Murid-murid di Tomoe Gakuen berasal dari berbagai latar belakang, ada yang kaya, ada yang biasa saja, bahkan ada yang memiliki disabilitas fisik. Tapi, di sekolah itu, semua diperlakukan sama, dihargai keunikannya, dan diberi kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang. Ini nunjukkin nilai-nilai egalitarianisme yang kuat dan dianut oleh Kepala Sekolah Kobayashi, yang melihat setiap anak sebagai individu yang berharga tanpa memandang status atau kondisi fisik mereka.

Nggak cuma di sekolah, lingkungan keluarga Totto-chan juga punya peran penting. Orang tua Totto-chan itu open-minded banget dan selalu mendukung anaknya, bahkan pas Totto-chan dianggap "bermasalah" di sekolah lamanya. Mereka nggak langsung menghakimi atau memarahi, tapi berusaha mencari solusi terbaik buat Totto-chan, yaitu dengan mencarikan sekolah yang lebih sesuai dengan karakternya. Mereka percaya pada potensi anaknya dan memberikan kebebasan yang bertanggung jawab. Ini nunjukkin gimana agen sosialisasi utama (keluarga) sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter anak, dan betapa pentingnya dukungan keluarga dalam mengembangkan potensi anak secara maksimal.
Jadi, novel ini nggak cuma cerita tentang Totto-chan, tapi juga cerminan dari kondisi sosial dan budaya Jepang pada masa itu, serta kritik terhadap sistem yang ada. Lewat cerita Totto-chan, kita jadi bisa ngelihat gimana masyarakat memandang pendidikan, individualitas, dan kebebasan. Kebayang kan, betapa kompleksnya novel ini buat dianalisis dari berbagai sudut pandang?


Kesimpulan: 

Totto-chan, Lebih dari Sekadar Anak Biasa
Setelah kita bedah bareng-bareng pakai pisau analisis psikoanalisis dan sosiologi sastra, jadi makin kelihatan kan kalau novel Totto-chan Si Gadis Kecil di Jendela ini emang bukan novel biasa. Totto-chan bukan cuma si gadis kecil yang polos dan cenderung "nakal", tapi juga representasi dari pergulatan batin seorang individu yang berusaha menemukan tempatnya di dunia dan diterima apa adanya.

Dari kacamata psikoanalisis, kita bisa paham gimana kepribadian Totto-chan itu terbentuk, mulai dari dorongan-dorongan alamiahnya yang spontan (id), proses adaptasinya sama realitas (ego), sampai pembentukan nilai-nilai moral dalam dirinya (superego) yang berkembang berkat lingkungan yang suportif. Interaksi dinamis antara id, ego, dan superego-nya jadi kunci buat memahami kenapa Totto-chan bertindak seperti itu, dan gimana dia tumbuh jadi pribadi yang unik dan otentik.

Sementara itu, dari sisi sosiologi sastra, novel ini nunjukkin banget gimana lingkungan, khususnya sekolah Tomoe Gakuen dan keluarga, punya peran besar dalam membentuk karakter Totto-chan. Novel ini juga jadi kritik yang elegan terhadap sistem pendidikan yang kaku dan nunjukkin potensi sebuah lingkungan yang suportif dan inklusif untuk menciptakan individu-individu yang kreatif, berempati, dan bahagia. Ini adalah contoh bagaimana sastra bisa menjadi cermin bagi masyarakat dan sekaligus menawarkan visi untuk perubahan.

Novel ini ngajak kita buat mikir ulang tentang definisi "normal" dan "pendidikan yang baik." Totto-chan, dengan segala keunikan dan "kenakalannya," justru tumbuh jadi pribadi yang luar biasa karena dia diberi ruang buat jadi dirinya sendiri, dihargai, dan dipahami. Jadi, bisa dibilang, novel ini bukan cuma kisah Totto-chan yang menggemaskan, tapi juga pelajaran berharga buat kita semua tentang pentingnya memahami dan menghargai setiap individu, serta bagaimana lingkungan yang tepat bisa membuka potensi tak terbatas dalam diri seseorang. Kira-kira, setelah menganalisis novel ini, apa lagi ya yang bisa kita pelajari dari kisah Totto-chan untuk diterapkan dalam kehidupan nyata?



Oleh: 
Zsa Zsa Tsabita Mizhari 
Mahasiswi Sastra Jepang 
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas Padang 2024/2025

Refleksi Kebutuhan Anak dalam Pendidikan: Analisis Terhadap Totto-chan dengan Teori Maslow

 



Loetju.id - Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter dan potensi seorang anak. Namun, sistem pendidikan yang terlalu kaku dan menuntut keseragaman sering kali menghambat tumbuhnya ekspresi diri dan kebebasan anak dalam belajar. Jepang, sebagai negara maju yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang disiplin dan terstruktur, ternyata juga memiliki sejarah pendidikan alternatif yang menekankan pada kebebasan, kreativitas, dan kebutuhan individual anak. Salah satu bentuk kritik dan refleksi terhadap sistem pendidikan konvensional dapat ditemukan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini merupakan autobiografi masa kecil penulis yang menggambarkan pengalamannya belajar di sekolah Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif yang mengutamakan kebebasan dan penghargaan terhadap keunikan setiap anak.

Totto-chan, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang gadis kecil yang dianggap “bermasalah” oleh sekolah formal karena perilakunya yang tidak sesuai dengan aturan sekolah. Namun, di sekolah Tomoe Gakuen, Totto-chan justru diterima dan didampingi dengan pendekatan yang penuh kasih sayang oleh kepala sekolah Sosaku Kobayashi. Sekolah ini memberi ruang yang luas bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka, tanpa tekanan untuk selalu patuh pada standar akademik yang kaku. Dalam konteks ini, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela menjadi representasi penting dari bagaimana pendidikan seharusnya memenuhi kebutuhan anak-anak secara menyeluruh, bukan hanya aspek kognitif, tetapi juga aspek psikologis dan sosial.

Konsep kebebasan berekspresi dan pemenuhan kebutuhan anak dalam novel ini dapat dianalisis melalui teori kebutuhan Abraham Maslow. Maslow (1943) menjelaskan bahwa manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan yang tersusun secara hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri. Dalam konteks pendidikan, kebutuhan-kebutuhan ini sangat relevan dalam memahami perkembangan anak. Sekolah Tomoe Gakuen dalam novel ini secara tidak langsung mencerminkan usaha memenuhi lima kebutuhan dasar tersebut, terutama kebutuhan akan rasa aman, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri melalui pendekatan pendidikan yang humanistik.


Pembahasan

Teori kebutuhan Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik asal Amerika Serikat, menjelaskan bahwa manusia terdorong untuk memenuhi lima tingkatan kebutuhan yang tersusun secara hierarkis, mulai dari kebutuhan paling dasar hingga tingkat aktualisasi diri. Kelima tingkatan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis seperti makan dan tidur, kebutuhan rasa aman secara fisik dan emosional, kebutuhan kasih sayang dan rasa memiliki dalam relasi sosial, kebutuhan akan penghargaan yang mencakup kepercayaan diri dan pengakuan, serta kebutuhan aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk merealisasikan potensi dan menjadi pribadi yang seutuhnya. Dalam konteks pendidikan, teori ini sangat relevan karena menunjukkan bahwa perkembangan anak secara optimal hanya dapat terjadi apabila seluruh kebutuhan tersebut terpenuhi secara berjenjang dan menyeluruh.

Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi memberikan gambaran konkret mengenai penerapan teori Maslow dalam dunia pendidikan melalui pendekatan unik yang dijalankan di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah Kobayashi. Sekolah ini tidak hanya memperhatikan aspek akademik, tetapi juga secara sadar memenuhi kebutuhan anak berdasarkan tingkatan Maslow. Salah satu contohnya adalah kebijakan mengenai bekal makan siang yang harus terdiri dari makanan kering dan basah. Kebijakan ini menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan fisiologis anak, karena keseimbangan gizi dipandang sebagai bagian penting dalam mendukung kesiapan belajar dan pertumbuhan fisik.

Lebih dari itu, Tomoe Gakuen juga menyediakan rasa aman bagi anak-anak, terutama secara emosional. Hal ini terlihat ketika Totto-chan yang sebelumnya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif, justru diterima dan didengarkan oleh kepala sekolah Kobayashi tanpa dihakimi. Keberadaan sosok kepala sekolah yang sabar dan menghargai ekspresi anak menciptakan rasa aman yang menjadi fondasi penting bagi tumbuh kembang psikologis Totto-chan. Selanjutnya, kebutuhan akan kasih sayang dan rasa memiliki juga dipenuhi dengan cara sekolah memeluk semua anak tanpa diskriminasi. Setiap anak dianggap berharga, terlepas dari latar belakang atau kondisi fisik mereka. Kalimat seperti “di sekolah ini, kamu adalah anak yang sangat berharga” mencerminkan filosofi pendidikan inklusif yang menumbuhkan rasa diterima dan dihargai di dalam komunitas sekolah.

Aspek penghargaan juga sangat kental dalam pendekatan yang digunakan Tomoe. Anak-anak diberi kepercayaan untuk memilih sendiri pelajaran apa yang ingin mereka kerjakan lebih dahulu. Kebebasan ini bukan hanya soal preferensi belajar, tetapi merupakan bentuk pengakuan terhadap kemampuan dan otonomi anak. Dengan diberi tanggung jawab, anak-anak merasa dihargai dan semakin percaya diri terhadap keputusan mereka sendiri. Akhirnya, Tomoe Gakuen menjadi tempat subur bagi tumbuhnya aktualisasi diri. Totto-chan, yang sering dianggap "bermasalah" di sekolah sebelumnya, justru berkembang menjadi anak yang percaya diri dan penuh rasa ingin tahu di lingkungan yang mendukung kebebasan berekspresi. Tidak ada yang menyebutnya aneh; sebaliknya, ia didorong untuk menjadi dirinya sendiri, menari, bertanya, dan mengeksplorasi dunia sekitar. Dengan demikian, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela tidak hanya menyampaikan kisah seorang anak, tetapi juga menjadi refleksi dari sistem pendidikan yang berhasil memenuhi kebutuhan dasar hingga tertinggi anak manusia sebagaimana dirumuskan oleh Maslow.


Penutup

Cerita Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela mengingatkan kita betapa pentingnya memberi anak-anak kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri. Di sekolah Tomoe Gakuen, Totto-chan dan teman-temannya bukan hanya belajar pelajaran biasa, tapi juga diberi ruang untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan minati tanpa takut dihakimi atau ditekan. Ini bukan hanya soal mengisi kepala dengan ilmu, tapi juga soal menghargai setiap anak sebagai pribadi unik yang punya kebutuhan dan cara berkembang masing-masing.

Kalau dilihat dari sudut pandang Maslow, pemenuhan kebutuhan dasar sampai kebutuhan tertingg - seperti rasa aman, cinta, penghargaan, dan aktualisasi diri - bisa terjadi ketika anak diberi ruang untuk bebas berekspresi. Kebebasan ini penting supaya mereka bisa tumbuh jadi pribadi yang percaya diri dan kreatif, bukan sekadar patuh pada aturan yang kaku dan membosankan.

Jadi, Totto-chan bukan cuma cerita masa kecil seorang gadis, tapi juga pesan penting tentang bagaimana pendidikan seharusnya: membuka pintu bagi anak-anak untuk berkembang secara menyeluruh, dengan hati yang bahagia dan pikiran yang bebas. Pendidikan yang seperti ini bukan hanya mendidik, tapi juga merawat jiwa anak-anak.



Penulis: 
Melca Anandaputri
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas

Analisis Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela Dengan Teori Carl Rogers

 



Loetju.id - Jepang dikenal sebagai negara yang sangat menghargai pendidikan. Sistemnya terkenal disiplin dan menekankan kebersamaan serta tanggung jawab sosial. Namun, tidak semua anak cocok dengan sistem yang seragam dan kaku ini. Hal inilah yang diceritakan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi.

Totto-chan, tokoh utama dalam kisah ini, dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif. Tapi hidupnya berubah ketika ia masuk ke Tomoe Gakuen - sebuah sekolah yang unik dan dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi. Di sana, Totto-chan menemukan tempat belajar yang menghargai perbedaan dan membebaskan anak-anak untuk menjadi diri sendiri.

Melalui kisah nyata ini, penulis menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu menuntut keseragaman bisa menghambat potensi anak. Sekolah Tomoe hadir sebagai contoh pendekatan yang lebih manusiawi - pendidikan yang memahami, bukan memaksa.

Seperti yang dikatakan Wellek dan Warren, sastra adalah cerminan kehidupan. Maka, Totto-chan bukan hanya cerita pribadi, tapi juga kritik sosial terhadap sistem pendidikan saat itu. Novel ini memperlihatkan bahwa setiap anak layak dipahami dan diberi ruang untuk tumbuh sesuai dengan keunikannya.


Pembahasan

Pendidikan alternatif pada dasarnya bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Pendidikan alternatif sudah ada sejak lama. Jika melihat perkembangan pendidikan alternatif, pelaksanaannya berbasis pada pemberdayaan siswa. Hal ini ditegaskan oleh Miarso, yang menjelaskan konsep pendidikan alternatif sebagai pendidikan alternatif adalah istilah umum yang mencakup program skala besar atau cara-cara pemberdayaan siswa yang berbeda dari cara-cara tradisional.

Pendidikan alternatif adalah sebuah opini, bukan program atau prosedur yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada banyak cara untuk dididik, dan banyak konteks dan struktur di mana hal ini dapat terjadi. Pendidikan dapat diakses oleh semua orang, dan merupakan kepentingan umum untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki pendidikan minimum. Tak hanya itu, Laudan Y. Aron juga menegaskan bahwa pendidikan alternatif menyasar kelompok pemuda tertentu, terutama yang dianggap "berisiko". Seringkali tujuan itulah yang menjadikan pendidikan ini "alternatif", dan situasi atau kebutuhan kelompok sasaran menjadi faktor pendorong kurikulum atau pendekatan tersebut.

Pendidikan alternatif ini, saya menggunakan teori Carl Rogers dimana teori Belajar Humanistik Carl Rogers.

Teori belajar humanistik adalah pendekatan dalam psikologi pendidikan yang menekankan peran penting individu dalam proses belajar. Teori ini menyoroti aspek-aspek unik dari setiap peserta didik dan menekankan potensi manusia untuk mencapai kemajuan dan perkembangan pribadi. Salah satu tokoh utama dalam teori belajar humanistik adalah Carl Rogers, Abraham Maslow, dan Kurt Lewin. Di antara ketiganya, Carl Rogers menjadi tokoh yang paling terkait dengan pengembangan teori belajar humanistic.

Prinsip utama teori belajar humanistik adalah self-actualization, yang merujuk pada dorongan alami setiap individu untuk mencapai potensinya yang penuh. Individu dianggap memiliki dorongan bawaan untuk tumbuh, berkembang, dan mencapai tujuan pribadi mereka. Carl Rogers menekankan pentingnya hubungan antara terapis (atau pendidik) dan individu (siswa). Empati dan penerimaan tanpa syarat adalah konsep kunci di mana terapis atau pendidik harus mengakui perasaan dan pandangan individu tanpa menghakimi.

Penerimaan ini menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembelajaran. Teori belajar humanistik juga melibatkan elemen kognitif, di mana proses pemikiran dan pemahaman menjadi pusat perhatian. Pendidikan humanistik menekankan pentingnya proses kognitif, termasuk pemahaman, interpretasi, dan refleksi atas pengalaman belajar. Dalam teori humanistik, peserta didik dianggap sebagai pelaku aktif dalam proses belajar mereka. Belajar bukanlah suatu tindakan pasif di mana informasi disampaikan kepada peserta didik, sebaliknya, peserta didik berperan aktif dalam memahami dan memproses informasi.

Konsep-konsep utama dalam teori belajar Carl Rogers dapat diterapkan untuk menganalisis pendekatan pendidikan yang diterapkan di Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Salah satu konsep utama adalah self-actualization atau self-perwujudan, yang merujuk pada dorongan bawaan individu untuk mewujudkan potensi penuh mereka dan menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Dalam novel ini, Totto-chan diberikan kebebasan untuk memilih sendiri urutan pelajaran yang ingin ia pelajari setiap harinya di sekolah Tomoe Gakuen. Kebebasan ini bukan sekadar variasi dalam kegiatan belajar, melainkan bentuk penghargaan terhadap minat dan irama belajar pribadi anak. Hal ini mencerminkan semangat self-actualization seperti yang dijelaskan oleh Rogers, di mana individu dibiarkan berkembang secara alami melalui lingkungan yang mendukung dan tidak menekan.

Selain itu, Rogers juga menyoroti pentingnya pengalaman nyata dalam proses belajar, khususnya melalui konsep incongruence, yaitu ketidaksesuaian antara pengalaman aktual seseorang dengan konsep dirinya. Dalam sistem pendidikan yang terlalu teoritis, anak-anak kerap mengalami incongruence karena mereka hanya mempelajari konsep dari buku tanpa mengalaminya langsung dalam kehidupan nyata. Namun, Tomoe Gakuen justru menjembatani kesenjangan tersebut melalui pendekatan belajar yang berbasis pengalaman. Salah satu contohnya adalah kegiatan bertani, di mana anak-anak belajar langsung dari petani asli - menanam, merawat, hingga memanen tanaman. Pendekatan ini membantu anak-anak seperti Totto-chan memahami dunia secara konkret, bukan sekadar abstraksi. Dengan demikian, pengalaman belajar menjadi selaras dengan realitas dan membantu membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang dunia dan diri mereka.

Konsep ketiga yang mendasari teori Rogers adalah self-concept atau konsep diri, yaitu persepsi individu terhadap siapa dirinya, nilai-nilai yang dimilikinya, serta kemampuannya. Di Tomoe Gakuen, konsep diri Totto-chan mulai berkembang secara positif berkat penerimaan tanpa syarat dari Kepala Sekolah Kobayashi. Meskipun ia dianggap “bermasalah” di sekolah sebelumnya, di sekolah ini Totto-chan merasa dirinya diterima dan dihargai. Sikap Kobayashi yang tidak menghakimi, melainkan mendengarkan dan memahami, menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri Totto-chan. Ia mulai menyadari bahwa menjadi dirinya sendiri bukanlah sesuatu yang keliru. Penerimaan ini sangat penting dalam pembentukan konsep diri yang sehat dan positif, sebagaimana ditegaskan oleh Rogers bahwa lingkungan yang menerima dan memahami merupakan fondasi bagi pertumbuhan pribadi yang otentik.


Penutup

Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan sebuah bentuk pendidikan alternatif yang humanis dan membebaskan, melalui sekolah Tomoe Gakuen. Di tengah sistem pendidikan Jepang yang kaku dan seragam, Tomoe hadir sebagai ruang yang menghargai perbedaan, memberikan kebebasan belajar, dan menumbuhkan potensi anak secara alami.

Melalui pendekatan Carl Rogers tentang teori belajar humanistik - seperti self-actualization, experience of incongruence, dan self-concept - dapat dilihat bahwa metode pembelajaran di Tomoe menekankan pada perkembangan kepribadian, pengalaman langsung, dan penerimaan diri. Anak-anak, termasuk Totto-chan, tidak hanya belajar secara kognitif, tetapi juga emosional dan sosial. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendukung dan memanusiakan.

Dengan demikian, Totto-chan bukan hanya cerita tentang masa kecil, tetapi juga cerminan dan kritik terhadap sistem pendidikan konvensional. Kisah ini menunjukkan bahwa pendidikan alternatif yang berpusat pada anak dapat menjadi jalan untuk menciptakan manusia yang utuh - percaya diri, mandiri, dan bertanggung jawab.



Penulis: 
Fachry Afriansyah H.
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas

Analisis Novel "The Memory Police" Karya Yoko Ogawa Melalui Pendekatan Teori Memori Kolektif

 



Loetju.id - Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa merupakan sebuah alegori distopia yang menggugah pemikiran tentang pentingnya memori dalam pembentukan identitas manusia. Di dalam dunia fiksi ini, masyarakat tinggal di sebuah pulau misterius di mana benda-benda secara berkala “menghilang” bukan hanya secara fisik, tetapi juga dari ingatan kolektif masyarakat. 

Lembaga yang disebut Memory Police bertugas memastikan bahwa masyarakat tidak mengingat apa yang telah hilang, baik secara sadar maupun emosional. Dalam konteks ini, teori memori kolektif yang dikembangkan oleh Maurice Halbwachs dan diperluas oleh Jan Assmann memberikan kerangka konseptual yang tajam untuk memahami bagaimana represi memori memengaruhi jati diri individu dan komunitas.


Memori Kolektif sebagai Dasar Identitas Sosial
Menurut Maurice Halbwachs (1992), memori individu tidak pernah eksis secara murni, melainkan selalu dibentuk dan dimediasi oleh struktur sosial tempat individu berada. Memori kolektif bukan hanya akumulasi dari ingatan pribadi, melainkan sistem makna bersama yang dibangun melalui simbol, ritus, bahasa, dan budaya. Dalam novel The Memory Police, setiap kali suatu objek “menghilang” - seperti burung, parfum, jam tangan, bahkan kalender , masyarakat tidak hanya kehilangan objeknya, tetapi juga konteks sosial, emosional, dan historis yang melekat padanya.

Proses pelupaan ini tidak berlangsung secara alami, tetapi dipaksakan secara sistematis. Orang-orang yang masih mengingat dianggap menyimpang dan diburu oleh otoritas. Hal ini menggambarkan betapa kuatnya pengaruh institusi dalam membentuk atau menghapus memori kolektif. Dalam konteks Assmann (2011), proses ini menghapus memori kultural, yaitu memori jangka panjang yang dijaga oleh teks, ritual, dan benda-benda simbolik.


Kehilangan Identitas Akibat Represi Memori
Identitas manusia, baik secara personal maupun komunal, tidak terpisahkan dari narasi-narasi masa lalu yang kita bangun bersama. Ketika memori kolektif dikikis secara sistematis, seperti dalam The Memory Police, individu kehilangan jangkar eksistensialnya. Tokoh utama, seorang penulis wanita, secara bertahap menyadari kehampaan yang menggerogoti eksistensinya. Ia tidak hanya kehilangan benda-benda berharga, tetapi juga makna-makna yang menjalin kehidupan sosialnya.

Pada titik ini, novel menyuarakan konsep krisis identitas sosial. Halbwachs menegaskan bahwa ketika masyarakat kehilangan kapasitas untuk mengingat bersama, maka tatanan sosial akan runtuh dalam kekacauan simbolik. Kehidupan tokoh utama menjadi representasi dari kegamangan eksistensial akibat hilangnya kesinambungan memori. Ia tidak lagi dapat menulis dengan makna karena struktur bahasa dan referensinya telah dihapus.


Penghapusan Simbol Budaya dan Konsekuensi Sosial
Setiap penghilangan objek dalam novel juga menyiratkan penghapusan simbol-simbol budaya. Parfum, misalnya, tidak sekadar aroma, tetapi juga simbol dari sensualitas, kenangan personal, dan relasi emosional. Hilangnya kalender bukan hanya menghapus waktu, tapi juga menghapus sejarah. Dengan menghilangkan memori ini, negara dalam novel melakukan praktik penghapusan sejarah (historical erasure), yang sering ditemukan dalam rezim totaliter dunia nyata.

Dalam kerangka Assmann, ini adalah pembunuhan memori kultural yang sistematis. Tanpa memori, tidak ada sejarah; tanpa sejarah, tidak ada identitas; dan tanpa identitas, tidak ada keberanian untuk melawan. Novel ini dengan halus menunjukkan bagaimana memori kolektif adalah medan utama perebutan kekuasaan: siapa yang mengontrol memori, mengontrol realitas.


Resistensi Naratif: Menulis Sebagai Perlawanan
Meski hidup dalam ketakutan, tokoh utama terus menulis. Ia menciptakan dunia fiktif di mana perasaan dan makna masih bisa bertahan. Tindakan ini mencerminkan apa yang disebut Assmann sebagai "penjaga memori" (memory keepers) - individu atau kelompok yang tetap memelihara memori kultural meskipun ditekan. Dalam novel, menulis menjadi bentuk perlawanan naratif terhadap kekuasaan yang ingin menghapus.

Ini memperkuat gagasan bahwa memori kolektif tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh otoritas. Selalu ada ruang untuk resistensi melalui ekspresi seni, cerita, dan bahasa. Dalam dunia The Memory Police, penulisan fiksi menjadi satu-satunya cara untuk mempertahankan jati diri dan menolak kehampaan yang dipaksakan.


Analisis Tematik Berdasarkan Teori Trauma dan Psikologi Sastra

Tema Utama

Manifestasi dalam Novel

Penafsiran Psikologis

Represi Memori

Polisi kenangan memaksa masyarakat melupakan objek tertentu, seperti Objek-objek seperti burung, parfum, kalender hilang; penduduk harus melupakan

Mekanisme represi (Freud); pelarian kolektif dari kenyataan

Trauma Individual

Tokoh utama mengalami keterasingan, kesepian, ketakutan berulang

Luka batin akibat kehilangan; gejala PTSD tak terungkap

Krisis Identitas

Tokoh tak lagi tahu siapa dirinya tanpa ingatan masa lalu

Erikson: Hilangnya kesinambungan masa lalu → krisis ego

Penghapusan Naratif

Penulisan novel secara sembunyi-sembunyi

Proses katarsis; penyembuhan melalui ekspresi simbolik. Menulis sebagai cara melestarikan memori & identitas alternatif

Alienasi Psikis

Tokoh yang “masih ingat” harus sembunyi; dianggap bahaya

Isolasi akibat berbeda persepsi → simbol trauma yang membekas. Mereka menjaga bentuk “ingatan minor” yang bertentangan dengan rezim



Kesimpulan
Melalui pendekatan teori memori kolektif, The Memory Police karya Yoko Ogawa menghadirkan refleksi mendalam mengenai bagaimana ingatan bersama menjadi fondasi utama bagi pembentukan identitas individu dan masyarakat. Ketika memori dipaksa untuk dilupakan, individu tidak hanya kehilangan masa lalu, tetapi juga kehilangan orientasi diri dan kemanusiaan. Novel ini adalah pengingat bahwa identitas kita tidak dapat dilepaskan dari apa yang kita ingat, dan bahwa dalam dunia yang mencoba menghapus masa lalu, mengingat adalah tindakan revolusioner.



Penulis:
Vanessa Maytisha 
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas

Essay Mengenai Novel The Memory Police karya Yoko Ogawa

 



Loetju.idThe Memory Police adalah novel tahun 1994 karya Yoko Ogawa yang berlatar belakang sebuah pulau distopia di mana objek-objek menghilang dari kesadaran penduduk setempat dan para penghuninya dipaksa untuk melupakan keberadaan mereka oleh kekuasaan otoritas  yang dikenal dengan nama Polisi Ingatan. 

Novel ini dapat dilihat sebagai peringatan tentang risiko kehilangan identitas, budaya, dan trauma yang dialami. Perumpamaan seperti kehilangan kendali digunakan oleh Ogawa dalam novelnya untuk mengekspresikan tekanan sosial dan psikologis dalam masyarakat setempat. Kisah ini terinsprirasi oleh Ogawa terhadap topik memori dan pengekangan, serta cara dimana bahasa dan ingatan dapat dihilangkan secara sistematis.


Pembahasan

Dalam novel The Memory Police, Yoko Ogawa menciptakan sebuah dunia yang tampak tenang dari luar, namun sebenarnya menyimpan kengerian yang mendalam. Kengerian itu tidak datang dari perang ataupun kehancuran besar, melainkan dari proses pelan dan sunyi lenyapnya berbagai hal dari dunia, satu per satu, tanpa jejak. 

Penghilangan ini bukan hanya bersifat fisik, tapi juga menyasar kenangan dan makna yang melekat pada benda atau konsep yang dimaksud. Fenomena ini muncul dengan sangat alami dan tanpa adanya perlawanan, sehingga membuat pembaca berpikir tentang apa yang akan terjadi jika kita kehilangan kemampuan untuk mengingat.


1. Mekanisme Penghilangan dan Rapuhnya Ingatan

Salah satu sudut pandang yang paling kuat Dalam novel ini, Ogawa dengan cermat menggambarkan proses yang disebut “penghilangan.” Di pulau tempat tokoh utama tinggal, ada kalanya sesuatu bisa tiba-tiba “menghilang.” Ini bukan sekadar hilangnya benda fisik dari pandangan, tetapi juga dari pikiran dan hati. 

Contohnya, ketika burung-burung menghilang, bukan hanya yang terbang di langit yang lenyap, tetapi juga semua keterikatan emosional dan konseptual terhadap burung tersebut, bahkan suara siulan mereka pun ikut menghilang, Kenangan akan penerbangan dan makna dari kata "burung" itu sendiri telah pudar. Penduduk pulau kini tidak lagi dapat memahami atau mengingat bahwa burung pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka.

Proses ini begitu rapi dan terasa wajar oleh sebagian besar penduduk. Tidak ada pertanyaan, tidak ada perlawanan. Mereka hanya melanjutkan kehidupan, mengabaikan barang-barang yang sudah "hilang", dan berusaha untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.

Narator dalam novel ini menceritakan proses di mana ia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia kesulitan untuk mengidentifikasi dengan jelas apa yang telah menghilang. Perasaan kosong itu samar, tapi nyata. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan yang sama bisa dikendalikan secara terorganisasi, dan ketika sesuatu dilupakan secara menyeluruh, keberadaannya pun ikut terhapus dari kenyataan. Mereka memiliki kemampuan untuk mengingat hal-hal yang sudah dilupakan oleh banyak orang lain.

Namun, tidak semua orang yang tinggal di pulau itu mengalami kehilangan ingatan. Ada beberapa individu yang masih dapat mengingat benda-benda yang telah “hilang.” Salah satu contohnya adalah tokoh ibu dari narator dan editor yang bernama R.  Anehnya, bukannya dihormati, mereka justru dianggap ancaman. Di sinilah letak peristiwa paling tajam dalam cerita yang mana orang tersebut dianggap berbahaya, karena mereka mengganggu sistem “lupa” yang telah diterima sebagai normal. Mereka dikejar dan disembunyikan, seolah kenangan adalah bentuk kriminalitas.

Melalui penjelasan ini, Ogawa ingin menunjukkan betapa lemahnya memori manusia. Ingatan tidak hanya berfungsi sebagai aspek kognitif, tetapi juga sebagai sebuah medan kekuasaan yang dapat dipengaruhi, dihancurkan, atau bahkan dihapus sepenuhnya tanpa meninggalkan jejak rasa sakit. Justru karena kita tidak merasakan kehilangan, proses ini menjadi semakin menakutkan.


2. Polisi Kenangan: Simbol Totaliter

Dalam dunia yang diciptakan oleh Ogawa, Polisi Kenangan berperan sebagai penggerak utama dalam metode penindasan ini. Mereka tidak hanya sekadar mengawasi, tetapi juga aktif mengatur ritme penghilangan, memaksa warga untuk melupakan, menghapus jejak benda-benda yang sudah "dilarang," bahkan menangkap orang-orang yang masih memiliki ingatan. Tindakan mereka berlangsung dalam keheningan, namun dipenuhi dengan teror. Mereka adalah wajah kekuasaan yang mengendalikan bukan hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan ingatan.

Polisi Kenangan berfungsi sebagai alegori yang kuat untuk rezim totaliter di dunia nyata, yang dengan sistematis memanipulasi sejarah dan menghapus narasi alternatif. Sepanjang sejarah, banyak pemerintahan otoriter berusaha mengendalikan wacana publik melalui penyensoran, penghapusan arsip, dan bahkan penghilangan paksa individu yang dianggap "berbahaya" karena ingatan mereka tentang kebenaran. Dalam The Memory Police, kekuatan ini digambarkan dengan sangat subtil namun efektif. Meski tidak ada instruksi yang jelas dan pembunuhan massal yang terlihat, penguasaan penuh terhadap realitas berlangsung dengan sangat efisien.

Kehadiran Polisi Kenangan juga menimbulkan rasa takut yang mendalam. Warga pun menjadi patuh karena mereka sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Mereka tidak hanya mengikuti aturan, tapi juga menginternalisasi sistem “lupa” tersebut. Tidak ada ruang untuk keraguan, bahkan kenangan tentang kenangan pun ikut lenyap. Dengan cara ini, kekuasaan tidak hanya memengaruhi saat ini, tetapi juga membentuk masa lalu dan masa depan.


3. Identitas, Seni dan Perlawanan Diam-diam

Seiring dengan hilangnya benda-benda dan konsep dari kehidupan sehari-hari, para tokoh dalam novel ini juga menghadapi krisis identitas. Jika kita didefinisikan oleh kenangan dan keterikatan terhadap masa lalu, maka hilangnya ingatan berarti hilangnya sebagian dari diri kita. Siapakah kita ketika kita tidak dapat lagi mengingat apa yang telah membentuk diri kita?

Di tengah keadaan yang rapuh ini, Ogawa menawarkan secercah harapan melalui karya seni. Seni dalam novel ini bukan hanya bentuk ekspresi, melainkan satu-satunya media yang masih bisa menyimpan jejak-jejak kebenaran. Sang ibu, seorang pematung, menyembunyikan benda-benda yang telah hilang di sebuah laci rahasia. Benda-benda itu bukan hanya koleksi, melainkan simbol perlawanan terhadap pelupaan massal.

Begitu juga dengan narator yang berprofesi sebagai penulis. Meskipun kata-kata perlahan kehilangan maknanya, namun ia tetap setia menulis. Ia tahu bahwa tulisan bisa menjadi tempat menyimpan sesuatu yang sudah tak lagi diingat orang lain. Ini adalah bentuk perlawanan yang tenang; meski tidak melawan secara langsung, pesan yang disampaikan tetap jelas: "Aku masih ada, aku masih ingat.”

Dalam konteks ini, Ogawa seolah ingin menunjukkan bahwa seni dan cerita adalah benteng terakhir manusia ketika semua yang lain telah direnggut. Ketika hukum, institusi, dan bahkan bahasa berada di bawah kendali kekuasaan, fiksi dan memori pribadi bisa menjadi tempat yang paling tulus untuk menjaga kemanusiaan kita.


4. Refleksi Sosial dan Filosofis

Pada akhirnya, The Memory Police tidak hanya merupakan sebuah novel tentang kehilangan dan penyensoran, tetapi juga berfungsi sebagai refleksi eksistensial yang mendalami bagaimana kenyataan dipengaruhi oleh ingatan kita. Jika semua orang melupakan sesuatu, apakah itu berarti hal tersebut benar-benar tidak pernah ada?

Masyarakat dalam novel ini digambarkan begitu pasrah, begitu terlatih dalam kehilangan, hingga mereka tidak lagi merasa kehilangan itu sendiri. Ini adalah potret masyarakat yang terbiasa ditekan, yang tak lagi punya alat untuk mempertanyakan apa pun.  Mereka hidup dalam keterasingan yang sunyi, yang lambat laun menjadi bentuk keberadaan mereka satu-satunya.

Melalui kisah ini, Ogawa dengan lembut namun tajam mengajak pembaca untuk merenung: bagaimana jika kita hidup di dunia di mana kita bahkan tidak menyadari bahwa kita sedang dilupakan? Bagaimana jika kenyataan yang kita jalani sebenarnya adalah hasil rekayasa bersama, yang dijaga oleh rasa takut dan kebiasaan?


The Memory Police adalah sebuah cerita yang tenang namun sangat menggugah. Yoko Ogawa tidak memberikan jawaban pasti, namun ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang siapa kita tanpa kenangan, dan apa yang terjadi ketika kekuasaan dapat menentukan apa yang boleh kita ingat dan apa yang harus kita lupakan.

Melalui alur cerita yang perlahan dan suasana yang kelam, Ogawa menggambarkan bagaimana ingatan bisa berfungsi sebagai alat pengendali. Namun, ia juga memberikan secercah harapan melalui seni, kasih sayang, dan keberanian untuk terus mengingat, meskipun dunia di sekitar kita memilih untuk melupakan.

Novel ini menjadi peringatan bahwa ingatan bukan hanya milik individu, tapi juga fondasi dari kebebasan dan identitas kolektif. Dan ketika semuanya mulai menghilang, mungkin satu-satunya cara untuk tetap manusia adalah dengan terus mengingat meskipun itu berarti harus melawan arus lupa yang terus mendesak.



Penulis:
Najmi Rahmi Putri 
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas

Sabtu, 17 Mei 2025

5 Sebab Film Animasi Jumbo Bisa Mendapatkan Penonton Jumbo

 


Loetju.id - Kabar gembira dari dunia perfilman tanah air terutama genre animasi, untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia bahkan Asia Tenggara film animasi berjudul Jumbo mampu meraih jumlah penonton yang juga Jumbo. Hingga artikel ini ditulis pada tanggal 17 Mei 2025 film yang disutradarai oleh Standup Comedian Ryan Adriandhy telah meraih 9,6 juta penonton menjadi film nomor 2 paling laris sepanjang masa di bawah KKN di Desa Penari itupun termasuk angka re-release (angka original run KKN di Desa Penari sudah terlampaui pada jumlah 9.2 juta).

Jumlah penonton yang diraih Jumbo masuk kategori anomali karena baru pertama kali terjadi pada film animasi Indonesia sehingga nyaris semua kalangan masih turut serta menganalisis apa sebab fenomena ini.

Fun fact, bang Ryan dan Visinema selaku production House menghabiskan total 5 tahun produksi hingga akhirnya dirilis. Dalam sebuah kesemparan podcast bersama channel review film Cine Cribe bang Ryan berjanji Bikin Spesial Show Stand Up Comedy tidak live Jika Film Animasi Jumbo Tembus 2 Juta Penonton dan spesial show secara live jika film Jumbo besutannya tembus 4 juta penonton dan sudah terlewati beberapa waktu yang lalu.

Dan menurut kami berikut adalah 5 Sebab Film Animasi Jumbo Bisa Mendapatkan Penonton Jumbo:


1. Kualitas
Waktu 5 tahun menjadi sangat whorth it ketika melihat kualitas animasinya yang banyak penonton bilang mendekati kualitas Pixar Disney. Bagaimanapun kualitas sebuah film animasi sangat jadi penentu laku tidaknya di pasaran.


2. Cerita yang relate
Faktor cerita yang benar-benar bisa diterima semua umur dan kalangan juga jadi kunci sukses. Tidak hanya anak-anak yang dewasa juga bisa menikmatinya.


Baca juga:


3. Tayang di waktu yang tepat
Jumbo dirilis pada liburan lebaran di mana biasanya keluarga mencari film yang bisa dinikmati bersama orang tua dan anak-anak. Ditambah berkah banyak libur long weekend yang jadi pendongkrak, hal ini bisa dilihat dari grafik meningkatnya jumlah penonton pada hari libur panjang.


4. Viralitas
Era sosial media yang juga merambah ke anak-anak membuat sesuatu yang viral segera menyebar dengan cepat dan membuat orang penasaran. Hal ini dialami Jumbo dengan viralnya di media sosial orang-orang yang awalnya belum tahu jadi tahu dan ingin menonton ke bioskop.


5. Theme Song
Lagu-lagu dalam filmnya easy listening dan mudah diingat, kini juga viral dinyanyikan dalam banyak kesempatan serta dicover oleh banyak orang.


Oke sobar Loetju, demikian postingan kita kali ini tentang 5 Sebab Film Animasi Jumbo Bisa Mendapatkan Penonton Jumbo, semoga bermanfaat sampai jumpa.



Penulis
Nandar

Una Bunga Di Persimpangan Rasa, Lewat Single Terbaru “Tanya Hati”




Loetju.idUna Bunga kembali menyapa pendengarnya lewat single baru berjudul Tanya Hati. Kali ini, bukan tentang religi, tapi tentang perasaan yang sering kali kita alami diam-diam, bingung. 

Lagu ini bercerita soal momen bimbang ketika pikiran tentang mantan muncul, lalu kita bertanya-tanya… balikan nggak ya? Tapi kalau nggak balikan juga ternyata aku baik-baik aja, kok. 

Yang bikin lagu ini unik, aransemen musiknya terdengar ceria banget, tapi liriknya justru cukup galau. “Aku suka banget lagu-lagu yang kayak gitu, yang musiknya ngangkat tapi isi hatinya tuh dalam. Jadi kayak... ketawa tapi sambil mikir,” kata Una sambil ketawa kecil. Untuk promosi lagunya Una mempercayakan kepada Orbitenar Entertainment.

Menariknya lagi, Tanya Hati adalah lagu pertama Una yang direkam secara profesional di studio. “Pas pertama kali masuk studio, aku deg-degan banget. Tapi justru itu yang bikin pengalaman ini jadi berkesan.

Seru, rame, dan penuh cerita. Banyak masukan juga dari orang-orang terdekat yang bikin lagunya makin matang dan relate.” cerita Una Setelah merilis dua lagu religi, Tanya Hati jadi langkah awal Una menjelajah genre pop secara lebih terbuka. 

Rencananya? Masih ada beberapa lagu lagi yang siap menyusul. “Pelan-pelan aku lagi siapin EP juga, doain aja semoga semua prosesnya lancar dan lagunya bisa jadi teman buat siapa pun yang lagi mikir hal yang sama kayak aku di lagu ini,” tutup Una. 

Single “Tanya Hati” dari Una Bunga sudah bisa kalian akses di seluruh digital stream platform kesayangan kalian.



Jumat, 09 Mei 2025

Inveigh Hadir Lagi dengan Single “Bertahan”: Buat Kalian Yang Tiap Hari Rasanya Ingin Resign"

 


Loetju.idSetelah setahun berlalu akhirnya unit garage/indie punk Malang, Inveigh merilis single terbaru yang berjudul “Bertahan”. Sebuah anthem untuk para pekerja yang jenuh akan rutinitas yang akan hadir pada Mei 2025 ini.

Inveigh adalah band indie punk/garage asal Malang, Jawa Timur, yang terbentuk pada akhir 2023. Band ini merupakan proyek supergrup yang beranggotakan musisi-musisi berpengalaman dari skena musik underground Malang, seperti Julius Bagus (Take This Life), Anizar Yasmeen (Extreme Decay), Eltria Raffi (Dazzle), dan Raditia Putra (Young Savages) .

Musik Inveigh menggabungkan energi garage punk dengan nuansa alt-rock dan grunge, terinspirasi oleh band-band seperti The Bronx, The Ghost of a Thousand, Pure Love, Gallows, dan The Damned Things .

Pada 1 Juni 2024, mereka merilis EP debut berjudul Dinamika melalui Haum Entertainment. EP ini berisi lima lagu yang menggambarkan krisis paruh baya dari perspektif pria Indonesia urban usia 30-an, dengan lirik yang jujur dan reflektif dalam bahasa Indonesia .

Kini dengan single "Bertahan" Inveigh bercerita tentang pengalaman kerja yang pernah dialami oleh vokalisnya saat menjadi karyawan, serta situasi serupa yang kini dirasakan oleh sang drummer. Lagu ini merefleksikan kejenuhan dan rasa muak akibat rutinitas kerja yang monoton namun terpaksa dijalani. 

“Single ini bercerita tentang pengalaman kerja ku dulu waktu jadi marketing, dan juga pengalaman yang lagi dirasain sama drummer kami sekarang. Mungkin lebih ke rasa jenuh dan muak karena rutinitas kerja yang gitu-gitu aja. Tapi ya pada akhirnya tetap dijalanin juga. Keluh kesah para pekerja kayak biasanya capek, muak, tapi tetap ditelan.” ujar Julius.

Proses produksi single "Bertahan" dari band Inveigh dimulai pada 2 Maret yang bersamaan dengan take lagu lainnya dengan sesi rekaman drum di Creatorix Studio. Selanjutnya, pada 10 Maret, gitar dan bass direkam di 202 Sonic Lab, sebuah home recording milik Eltria sang gitaris. Vokal direkam pada 14 Maret di Haum Studio. Terakhir, proses mixing dan mastering dilakukan pada 8 April di Griffin Studio. Tanggal 27 April, akhirnya proses mixing dan mastering selesai.

Setelah rilis single “Bertahan” ini, rencananya Inveigh akan merilis lagu selanjutnya dengan featuring vokalis tamu. Vokalis tamu ini sedang dicari dan di kepala mereka ada beberapa kandidat. Banyak kemungkinan yang bisa dimunculkan selain kandidat yang telah terpikir.
Single “Bertahan” akan hadir di semua DSP pada 9 Mei 2025.


Tentang Inveigh:
Inveigh adalah Indie Punk asal Malang, Jawa Timur yang beranggotakan Julius Bagus (Vokal), Anizar Yasmeen (Bass), Eltria Raffi (Gitar), dan Raditia Putra (Drum). Inveigh membuat ramuan indie punk, hardcore dan garage rock. Berawal dari niat Julius yang sudah lama ingin membuat band rock, lalu ia mengundang Anizar. Inveigh baru merekrut anggota penuh setelah band post-hardcore Take This Life yang digawangi oleh Julius selesai melakukan reuni pada April 2023. Inveigh melakukan debut live pada 14 April 2024, kemudian pada 1 Juni 2024, Inveigh resmi merilis EP pertama mereka "Dinamika" di Bandcamp dan pada 23 Agustus 2024 di DSP. Kini mereka hadir kembali dengan single “Bertahan” tentang rutinitas monoton yang mengundang niat resign.

Senin, 05 Mei 2025

Mahasiswa UNDIP Perkenalkan Kekayaan Budaya Indonesia di Inggris melalui Rangkaian Program Interaktif di University of Leicester

 

Loetju.id - Leicester, Inggris (13/11/2024) - Mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam program Indonesian International Student Mobility Awards (IISMA) tahun akademik 2024–2025 di University of Leicester menggelar serangkaian kegiatan pengenalan budaya sebagai bagian dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bertaraf internasional. Dalam semangat dalam pertukaran budaya, mereka menyelenggarakan 10 program unggulan yang bertujuan untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada komunitas global, khususnya sivitas akademika di Inggris.

Program ini disusun sebagai respons atas pentingnya membangun pemahaman lintas budaya di tengah masyarakat internasional. “Kami ingin membawa Indonesia ke tengah-tengah masyarakat dunia, melalui pendekatan yang kreatif, edukatif, dan penuh makna,” ujar salah satu mahasiswa peserta program.


Sorotan Utama: Batik Workshop di Global Fusion Fest


Salah satu kegiatan utama adalah Batik Workshop dalam rangkaian acara Global Fusion Fest University of Leicester yang dilaksanakan oleh Niken Ayu Larasati sebagai Mahasiswi KKN Undip penerima beasiswa IISMA. Dalam kegiatan ini, peserta diajak melukis langsung motif batik Indonesia seperti Parang, Kawung, dan Mega Mendung pada tote bag kanvas kecil yang dapat mereka bawa pulang. Selain kegiatan artistik, peserta juga memperoleh pemahaman tentang filosofi dan nilai budaya di balik motif-motif tersebut. 

Sebagai bagian dari perayaan Hari Pahlawan, mahasiswa juga menyelenggarakan program budaya yang bertajuk “Leistari”, sebuah inisiatif budaya yang menghadirkan berbagai kegiatan interaktif untuk memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia kepada komunitas internasional di University of Leicester. Program Unggulan Lainnya Meliputi:

1. Batik Corner - Pameran seni batik interaktif dari berbagai daerah di Indonesia.

2. Heroes Day - Pengenalan kuliner khas Indonesia seperti nasi kuning dan tempe orak-arik.

3. Booklet Lagu Daerah & Booth Audio - Edukasi lagu-lagu tradisional lengkap dengan audio interaktif.

4. Peta Budaya Lewat Batik - Pengenalan geografi Indonesia melalui batik bermotif peta daerah.

5. Website Wonderful Indonesia - Portal digital berisi budaya, wisata, dan visual interaktif Indonesia.

6. Pemberian Oleh-oleh Khas Indonesia - Souvenir untuk dosen sebagai bentuk apresiasi.

7. Jumat Berkah: Masak Bersama - Kegiatan memasak kuliner Indonesia di asrama internasional.

8. Rangkaian Tarian Tradisional - Penampilan Tari Maumere dan tari modern-bernuansa tradisional.

9. Program 1+1 Budaya Indonesia - Diskusi dan presentasi interaktif tentang budaya dan wisata Indonesia.

Program ini tidak hanya memperkenalkan budaya secara pasif, tetapi juga mengajak partisipasi aktif dari masyarakat internasional melalui kegiatan langsung dan teknologi digital. Para mahasiswa berharap kegiatan ini dapat memperkuat hubungan antarbangsa dan membentuk citra positif Indonesia di mata dunia.


Penulis: Niken Ayu Larasati
Pembimbing: Triyono, S,H., M.Kn.

Comika

Politika

Gen Z