Loetju.id - Tidak dapat disangkal bahwa pendidikan merupakan fondasi penting dalam membentuk karakter dan potensi seorang anak. Namun, sistem pendidikan yang terlalu kaku dan menuntut keseragaman sering kali menghambat tumbuhnya ekspresi diri dan kebebasan anak dalam belajar. Jepang, sebagai negara maju yang terkenal dengan sistem pendidikannya yang disiplin dan terstruktur, ternyata juga memiliki sejarah pendidikan alternatif yang menekankan pada kebebasan, kreativitas, dan kebutuhan individual anak. Salah satu bentuk kritik dan refleksi terhadap sistem pendidikan konvensional dapat ditemukan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi. Novel ini merupakan autobiografi masa kecil penulis yang menggambarkan pengalamannya belajar di sekolah Tomoe Gakuen, sebuah sekolah alternatif yang mengutamakan kebebasan dan penghargaan terhadap keunikan setiap anak.
Totto-chan, tokoh utama dalam novel ini, adalah seorang gadis kecil yang dianggap “bermasalah” oleh sekolah formal karena perilakunya yang tidak sesuai dengan aturan sekolah. Namun, di sekolah Tomoe Gakuen, Totto-chan justru diterima dan didampingi dengan pendekatan yang penuh kasih sayang oleh kepala sekolah Sosaku Kobayashi. Sekolah ini memberi ruang yang luas bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri sesuai dengan minat dan kebutuhan mereka, tanpa tekanan untuk selalu patuh pada standar akademik yang kaku. Dalam konteks ini, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela menjadi representasi penting dari bagaimana pendidikan seharusnya memenuhi kebutuhan anak-anak secara menyeluruh, bukan hanya aspek kognitif, tetapi juga aspek psikologis dan sosial.
Konsep kebebasan berekspresi dan pemenuhan kebutuhan anak dalam novel ini dapat dianalisis melalui teori kebutuhan Abraham Maslow. Maslow (1943) menjelaskan bahwa manusia memiliki lima tingkatan kebutuhan yang tersusun secara hierarkis, yaitu kebutuhan fisiologis, rasa aman, cinta dan memiliki, harga diri, dan aktualisasi diri. Dalam konteks pendidikan, kebutuhan-kebutuhan ini sangat relevan dalam memahami perkembangan anak. Sekolah Tomoe Gakuen dalam novel ini secara tidak langsung mencerminkan usaha memenuhi lima kebutuhan dasar tersebut, terutama kebutuhan akan rasa aman, cinta, harga diri, dan aktualisasi diri melalui pendekatan pendidikan yang humanistik.
Pembahasan
Teori kebutuhan Abraham Maslow, seorang psikolog humanistik asal Amerika Serikat, menjelaskan bahwa manusia terdorong untuk memenuhi lima tingkatan kebutuhan yang tersusun secara hierarkis, mulai dari kebutuhan paling dasar hingga tingkat aktualisasi diri. Kelima tingkatan tersebut meliputi kebutuhan fisiologis seperti makan dan tidur, kebutuhan rasa aman secara fisik dan emosional, kebutuhan kasih sayang dan rasa memiliki dalam relasi sosial, kebutuhan akan penghargaan yang mencakup kepercayaan diri dan pengakuan, serta kebutuhan aktualisasi diri, yaitu dorongan untuk merealisasikan potensi dan menjadi pribadi yang seutuhnya. Dalam konteks pendidikan, teori ini sangat relevan karena menunjukkan bahwa perkembangan anak secara optimal hanya dapat terjadi apabila seluruh kebutuhan tersebut terpenuhi secara berjenjang dan menyeluruh.
Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi memberikan gambaran konkret mengenai penerapan teori Maslow dalam dunia pendidikan melalui pendekatan unik yang dijalankan di Tomoe Gakuen, sebuah sekolah yang dipimpin oleh kepala sekolah Kobayashi. Sekolah ini tidak hanya memperhatikan aspek akademik, tetapi juga secara sadar memenuhi kebutuhan anak berdasarkan tingkatan Maslow. Salah satu contohnya adalah kebijakan mengenai bekal makan siang yang harus terdiri dari makanan kering dan basah. Kebijakan ini menunjukkan perhatian terhadap kebutuhan fisiologis anak, karena keseimbangan gizi dipandang sebagai bagian penting dalam mendukung kesiapan belajar dan pertumbuhan fisik.
Lebih dari itu, Tomoe Gakuen juga menyediakan rasa aman bagi anak-anak, terutama secara emosional. Hal ini terlihat ketika Totto-chan yang sebelumnya dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif, justru diterima dan didengarkan oleh kepala sekolah Kobayashi tanpa dihakimi. Keberadaan sosok kepala sekolah yang sabar dan menghargai ekspresi anak menciptakan rasa aman yang menjadi fondasi penting bagi tumbuh kembang psikologis Totto-chan. Selanjutnya, kebutuhan akan kasih sayang dan rasa memiliki juga dipenuhi dengan cara sekolah memeluk semua anak tanpa diskriminasi. Setiap anak dianggap berharga, terlepas dari latar belakang atau kondisi fisik mereka. Kalimat seperti “di sekolah ini, kamu adalah anak yang sangat berharga” mencerminkan filosofi pendidikan inklusif yang menumbuhkan rasa diterima dan dihargai di dalam komunitas sekolah.
Aspek penghargaan juga sangat kental dalam pendekatan yang digunakan Tomoe. Anak-anak diberi kepercayaan untuk memilih sendiri pelajaran apa yang ingin mereka kerjakan lebih dahulu. Kebebasan ini bukan hanya soal preferensi belajar, tetapi merupakan bentuk pengakuan terhadap kemampuan dan otonomi anak. Dengan diberi tanggung jawab, anak-anak merasa dihargai dan semakin percaya diri terhadap keputusan mereka sendiri. Akhirnya, Tomoe Gakuen menjadi tempat subur bagi tumbuhnya aktualisasi diri. Totto-chan, yang sering dianggap "bermasalah" di sekolah sebelumnya, justru berkembang menjadi anak yang percaya diri dan penuh rasa ingin tahu di lingkungan yang mendukung kebebasan berekspresi. Tidak ada yang menyebutnya aneh; sebaliknya, ia didorong untuk menjadi dirinya sendiri, menari, bertanya, dan mengeksplorasi dunia sekitar. Dengan demikian, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela tidak hanya menyampaikan kisah seorang anak, tetapi juga menjadi refleksi dari sistem pendidikan yang berhasil memenuhi kebutuhan dasar hingga tertinggi anak manusia sebagaimana dirumuskan oleh Maslow.
Penutup
Cerita Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela mengingatkan kita betapa pentingnya memberi anak-anak kebebasan untuk menjadi diri mereka sendiri. Di sekolah Tomoe Gakuen, Totto-chan dan teman-temannya bukan hanya belajar pelajaran biasa, tapi juga diberi ruang untuk mengekspresikan apa yang mereka rasakan dan minati tanpa takut dihakimi atau ditekan. Ini bukan hanya soal mengisi kepala dengan ilmu, tapi juga soal menghargai setiap anak sebagai pribadi unik yang punya kebutuhan dan cara berkembang masing-masing.
Kalau dilihat dari sudut pandang Maslow, pemenuhan kebutuhan dasar sampai kebutuhan tertingg - seperti rasa aman, cinta, penghargaan, dan aktualisasi diri - bisa terjadi ketika anak diberi ruang untuk bebas berekspresi. Kebebasan ini penting supaya mereka bisa tumbuh jadi pribadi yang percaya diri dan kreatif, bukan sekadar patuh pada aturan yang kaku dan membosankan.
Jadi, Totto-chan bukan cuma cerita masa kecil seorang gadis, tapi juga pesan penting tentang bagaimana pendidikan seharusnya: membuka pintu bagi anak-anak untuk berkembang secara menyeluruh, dengan hati yang bahagia dan pikiran yang bebas. Pendidikan yang seperti ini bukan hanya mendidik, tapi juga merawat jiwa anak-anak.
Penulis:
Melca Anandaputri
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas