Analisis Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela Dengan Teori Carl Rogers - Comedy, Indie and Creativity

Selasa, 01 Juli 2025

Analisis Novel Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela Dengan Teori Carl Rogers

 



Loetju.id - Jepang dikenal sebagai negara yang sangat menghargai pendidikan. Sistemnya terkenal disiplin dan menekankan kebersamaan serta tanggung jawab sosial. Namun, tidak semua anak cocok dengan sistem yang seragam dan kaku ini. Hal inilah yang diceritakan dalam novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi.

Totto-chan, tokoh utama dalam kisah ini, dikeluarkan dari sekolah karena dianggap terlalu aktif. Tapi hidupnya berubah ketika ia masuk ke Tomoe Gakuen - sebuah sekolah yang unik dan dipimpin oleh Kepala Sekolah Kobayashi. Di sana, Totto-chan menemukan tempat belajar yang menghargai perbedaan dan membebaskan anak-anak untuk menjadi diri sendiri.

Melalui kisah nyata ini, penulis menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang terlalu menuntut keseragaman bisa menghambat potensi anak. Sekolah Tomoe hadir sebagai contoh pendekatan yang lebih manusiawi - pendidikan yang memahami, bukan memaksa.

Seperti yang dikatakan Wellek dan Warren, sastra adalah cerminan kehidupan. Maka, Totto-chan bukan hanya cerita pribadi, tapi juga kritik sosial terhadap sistem pendidikan saat itu. Novel ini memperlihatkan bahwa setiap anak layak dipahami dan diberi ruang untuk tumbuh sesuai dengan keunikannya.


Pembahasan

Pendidikan alternatif pada dasarnya bukanlah hal baru dalam dunia pendidikan. Pendidikan alternatif sudah ada sejak lama. Jika melihat perkembangan pendidikan alternatif, pelaksanaannya berbasis pada pemberdayaan siswa. Hal ini ditegaskan oleh Miarso, yang menjelaskan konsep pendidikan alternatif sebagai pendidikan alternatif adalah istilah umum yang mencakup program skala besar atau cara-cara pemberdayaan siswa yang berbeda dari cara-cara tradisional.

Pendidikan alternatif adalah sebuah opini, bukan program atau prosedur yang didasarkan pada keyakinan bahwa ada banyak cara untuk dididik, dan banyak konteks dan struktur di mana hal ini dapat terjadi. Pendidikan dapat diakses oleh semua orang, dan merupakan kepentingan umum untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki pendidikan minimum. Tak hanya itu, Laudan Y. Aron juga menegaskan bahwa pendidikan alternatif menyasar kelompok pemuda tertentu, terutama yang dianggap "berisiko". Seringkali tujuan itulah yang menjadikan pendidikan ini "alternatif", dan situasi atau kebutuhan kelompok sasaran menjadi faktor pendorong kurikulum atau pendekatan tersebut.

Pendidikan alternatif ini, saya menggunakan teori Carl Rogers dimana teori Belajar Humanistik Carl Rogers.

Teori belajar humanistik adalah pendekatan dalam psikologi pendidikan yang menekankan peran penting individu dalam proses belajar. Teori ini menyoroti aspek-aspek unik dari setiap peserta didik dan menekankan potensi manusia untuk mencapai kemajuan dan perkembangan pribadi. Salah satu tokoh utama dalam teori belajar humanistik adalah Carl Rogers, Abraham Maslow, dan Kurt Lewin. Di antara ketiganya, Carl Rogers menjadi tokoh yang paling terkait dengan pengembangan teori belajar humanistic.

Prinsip utama teori belajar humanistik adalah self-actualization, yang merujuk pada dorongan alami setiap individu untuk mencapai potensinya yang penuh. Individu dianggap memiliki dorongan bawaan untuk tumbuh, berkembang, dan mencapai tujuan pribadi mereka. Carl Rogers menekankan pentingnya hubungan antara terapis (atau pendidik) dan individu (siswa). Empati dan penerimaan tanpa syarat adalah konsep kunci di mana terapis atau pendidik harus mengakui perasaan dan pandangan individu tanpa menghakimi.

Penerimaan ini menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan dan pembelajaran. Teori belajar humanistik juga melibatkan elemen kognitif, di mana proses pemikiran dan pemahaman menjadi pusat perhatian. Pendidikan humanistik menekankan pentingnya proses kognitif, termasuk pemahaman, interpretasi, dan refleksi atas pengalaman belajar. Dalam teori humanistik, peserta didik dianggap sebagai pelaku aktif dalam proses belajar mereka. Belajar bukanlah suatu tindakan pasif di mana informasi disampaikan kepada peserta didik, sebaliknya, peserta didik berperan aktif dalam memahami dan memproses informasi.

Konsep-konsep utama dalam teori belajar Carl Rogers dapat diterapkan untuk menganalisis pendekatan pendidikan yang diterapkan di Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela. Salah satu konsep utama adalah self-actualization atau self-perwujudan, yang merujuk pada dorongan bawaan individu untuk mewujudkan potensi penuh mereka dan menjadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. Dalam novel ini, Totto-chan diberikan kebebasan untuk memilih sendiri urutan pelajaran yang ingin ia pelajari setiap harinya di sekolah Tomoe Gakuen. Kebebasan ini bukan sekadar variasi dalam kegiatan belajar, melainkan bentuk penghargaan terhadap minat dan irama belajar pribadi anak. Hal ini mencerminkan semangat self-actualization seperti yang dijelaskan oleh Rogers, di mana individu dibiarkan berkembang secara alami melalui lingkungan yang mendukung dan tidak menekan.

Selain itu, Rogers juga menyoroti pentingnya pengalaman nyata dalam proses belajar, khususnya melalui konsep incongruence, yaitu ketidaksesuaian antara pengalaman aktual seseorang dengan konsep dirinya. Dalam sistem pendidikan yang terlalu teoritis, anak-anak kerap mengalami incongruence karena mereka hanya mempelajari konsep dari buku tanpa mengalaminya langsung dalam kehidupan nyata. Namun, Tomoe Gakuen justru menjembatani kesenjangan tersebut melalui pendekatan belajar yang berbasis pengalaman. Salah satu contohnya adalah kegiatan bertani, di mana anak-anak belajar langsung dari petani asli - menanam, merawat, hingga memanen tanaman. Pendekatan ini membantu anak-anak seperti Totto-chan memahami dunia secara konkret, bukan sekadar abstraksi. Dengan demikian, pengalaman belajar menjadi selaras dengan realitas dan membantu membentuk pemahaman yang lebih utuh tentang dunia dan diri mereka.

Konsep ketiga yang mendasari teori Rogers adalah self-concept atau konsep diri, yaitu persepsi individu terhadap siapa dirinya, nilai-nilai yang dimilikinya, serta kemampuannya. Di Tomoe Gakuen, konsep diri Totto-chan mulai berkembang secara positif berkat penerimaan tanpa syarat dari Kepala Sekolah Kobayashi. Meskipun ia dianggap “bermasalah” di sekolah sebelumnya, di sekolah ini Totto-chan merasa dirinya diterima dan dihargai. Sikap Kobayashi yang tidak menghakimi, melainkan mendengarkan dan memahami, menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri Totto-chan. Ia mulai menyadari bahwa menjadi dirinya sendiri bukanlah sesuatu yang keliru. Penerimaan ini sangat penting dalam pembentukan konsep diri yang sehat dan positif, sebagaimana ditegaskan oleh Rogers bahwa lingkungan yang menerima dan memahami merupakan fondasi bagi pertumbuhan pribadi yang otentik.


Penutup

Novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi menggambarkan sebuah bentuk pendidikan alternatif yang humanis dan membebaskan, melalui sekolah Tomoe Gakuen. Di tengah sistem pendidikan Jepang yang kaku dan seragam, Tomoe hadir sebagai ruang yang menghargai perbedaan, memberikan kebebasan belajar, dan menumbuhkan potensi anak secara alami.

Melalui pendekatan Carl Rogers tentang teori belajar humanistik - seperti self-actualization, experience of incongruence, dan self-concept - dapat dilihat bahwa metode pembelajaran di Tomoe menekankan pada perkembangan kepribadian, pengalaman langsung, dan penerimaan diri. Anak-anak, termasuk Totto-chan, tidak hanya belajar secara kognitif, tetapi juga emosional dan sosial. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang mendukung dan memanusiakan.

Dengan demikian, Totto-chan bukan hanya cerita tentang masa kecil, tetapi juga cerminan dan kritik terhadap sistem pendidikan konvensional. Kisah ini menunjukkan bahwa pendidikan alternatif yang berpusat pada anak dapat menjadi jalan untuk menciptakan manusia yang utuh - percaya diri, mandiri, dan bertanggung jawab.



Penulis: 
Fachry Afriansyah H.
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas

Bagikan artikel ini

Jangan lupa komen ya Guys..