Loetju.id - The Memory Police adalah novel tahun 1994 karya Yoko Ogawa yang berlatar belakang sebuah pulau distopia di mana objek-objek menghilang dari kesadaran penduduk setempat dan para penghuninya dipaksa untuk melupakan keberadaan mereka oleh kekuasaan otoritas yang dikenal dengan nama Polisi Ingatan.
Novel ini dapat dilihat sebagai peringatan tentang risiko kehilangan identitas, budaya, dan trauma yang dialami. Perumpamaan seperti kehilangan kendali digunakan oleh Ogawa dalam novelnya untuk mengekspresikan tekanan sosial dan psikologis dalam masyarakat setempat. Kisah ini terinsprirasi oleh Ogawa terhadap topik memori dan pengekangan, serta cara dimana bahasa dan ingatan dapat dihilangkan secara sistematis.
Pembahasan
Dalam novel The Memory Police, Yoko Ogawa menciptakan sebuah dunia yang tampak tenang dari luar, namun sebenarnya menyimpan kengerian yang mendalam. Kengerian itu tidak datang dari perang ataupun kehancuran besar, melainkan dari proses pelan dan sunyi lenyapnya berbagai hal dari dunia, satu per satu, tanpa jejak.
Penghilangan ini bukan hanya bersifat fisik, tapi juga menyasar kenangan dan makna yang melekat pada benda atau konsep yang dimaksud. Fenomena ini muncul dengan sangat alami dan tanpa adanya perlawanan, sehingga membuat pembaca berpikir tentang apa yang akan terjadi jika kita kehilangan kemampuan untuk mengingat.
1. Mekanisme Penghilangan dan Rapuhnya Ingatan
Salah satu sudut pandang yang paling kuat Dalam novel ini, Ogawa dengan cermat menggambarkan proses yang disebut “penghilangan.” Di pulau tempat tokoh utama tinggal, ada kalanya sesuatu bisa tiba-tiba “menghilang.” Ini bukan sekadar hilangnya benda fisik dari pandangan, tetapi juga dari pikiran dan hati.
Contohnya, ketika burung-burung menghilang, bukan hanya yang terbang di langit yang lenyap, tetapi juga semua keterikatan emosional dan konseptual terhadap burung tersebut, bahkan suara siulan mereka pun ikut menghilang, Kenangan akan penerbangan dan makna dari kata "burung" itu sendiri telah pudar. Penduduk pulau kini tidak lagi dapat memahami atau mengingat bahwa burung pernah menjadi bagian dari kehidupan mereka.
Proses ini begitu rapi dan terasa wajar oleh sebagian besar penduduk. Tidak ada pertanyaan, tidak ada perlawanan. Mereka hanya melanjutkan kehidupan, mengabaikan barang-barang yang sudah "hilang", dan berusaha untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja.
Narator dalam novel ini menceritakan proses di mana ia mulai merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres, meskipun ia kesulitan untuk mengidentifikasi dengan jelas apa yang telah menghilang. Perasaan kosong itu samar, tapi nyata. Hal ini menunjukkan bahwa ingatan yang sama bisa dikendalikan secara terorganisasi, dan ketika sesuatu dilupakan secara menyeluruh, keberadaannya pun ikut terhapus dari kenyataan. Mereka memiliki kemampuan untuk mengingat hal-hal yang sudah dilupakan oleh banyak orang lain.
Namun, tidak semua orang yang tinggal di pulau itu mengalami kehilangan ingatan. Ada beberapa individu yang masih dapat mengingat benda-benda yang telah “hilang.” Salah satu contohnya adalah tokoh ibu dari narator dan editor yang bernama R. Anehnya, bukannya dihormati, mereka justru dianggap ancaman. Di sinilah letak peristiwa paling tajam dalam cerita yang mana orang tersebut dianggap berbahaya, karena mereka mengganggu sistem “lupa” yang telah diterima sebagai normal. Mereka dikejar dan disembunyikan, seolah kenangan adalah bentuk kriminalitas.
Melalui penjelasan ini, Ogawa ingin menunjukkan betapa lemahnya memori manusia. Ingatan tidak hanya berfungsi sebagai aspek kognitif, tetapi juga sebagai sebuah medan kekuasaan yang dapat dipengaruhi, dihancurkan, atau bahkan dihapus sepenuhnya tanpa meninggalkan jejak rasa sakit. Justru karena kita tidak merasakan kehilangan, proses ini menjadi semakin menakutkan.
2. Polisi Kenangan: Simbol Totaliter
Dalam dunia yang diciptakan oleh Ogawa, Polisi Kenangan berperan sebagai penggerak utama dalam metode penindasan ini. Mereka tidak hanya sekadar mengawasi, tetapi juga aktif mengatur ritme penghilangan, memaksa warga untuk melupakan, menghapus jejak benda-benda yang sudah "dilarang," bahkan menangkap orang-orang yang masih memiliki ingatan. Tindakan mereka berlangsung dalam keheningan, namun dipenuhi dengan teror. Mereka adalah wajah kekuasaan yang mengendalikan bukan hanya tubuh, tetapi juga pikiran dan ingatan.
Polisi Kenangan berfungsi sebagai alegori yang kuat untuk rezim totaliter di dunia nyata, yang dengan sistematis memanipulasi sejarah dan menghapus narasi alternatif. Sepanjang sejarah, banyak pemerintahan otoriter berusaha mengendalikan wacana publik melalui penyensoran, penghapusan arsip, dan bahkan penghilangan paksa individu yang dianggap "berbahaya" karena ingatan mereka tentang kebenaran. Dalam The Memory Police, kekuatan ini digambarkan dengan sangat subtil namun efektif. Meski tidak ada instruksi yang jelas dan pembunuhan massal yang terlihat, penguasaan penuh terhadap realitas berlangsung dengan sangat efisien.
Kehadiran Polisi Kenangan juga menimbulkan rasa takut yang mendalam. Warga pun menjadi patuh karena mereka sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Mereka tidak hanya mengikuti aturan, tapi juga menginternalisasi sistem “lupa” tersebut. Tidak ada ruang untuk keraguan, bahkan kenangan tentang kenangan pun ikut lenyap. Dengan cara ini, kekuasaan tidak hanya memengaruhi saat ini, tetapi juga membentuk masa lalu dan masa depan.
3. Identitas, Seni dan Perlawanan Diam-diam
Seiring dengan hilangnya benda-benda dan konsep dari kehidupan sehari-hari, para tokoh dalam novel ini juga menghadapi krisis identitas. Jika kita didefinisikan oleh kenangan dan keterikatan terhadap masa lalu, maka hilangnya ingatan berarti hilangnya sebagian dari diri kita. Siapakah kita ketika kita tidak dapat lagi mengingat apa yang telah membentuk diri kita?
Di tengah keadaan yang rapuh ini, Ogawa menawarkan secercah harapan melalui karya seni. Seni dalam novel ini bukan hanya bentuk ekspresi, melainkan satu-satunya media yang masih bisa menyimpan jejak-jejak kebenaran. Sang ibu, seorang pematung, menyembunyikan benda-benda yang telah hilang di sebuah laci rahasia. Benda-benda itu bukan hanya koleksi, melainkan simbol perlawanan terhadap pelupaan massal.
Begitu juga dengan narator yang berprofesi sebagai penulis. Meskipun kata-kata perlahan kehilangan maknanya, namun ia tetap setia menulis. Ia tahu bahwa tulisan bisa menjadi tempat menyimpan sesuatu yang sudah tak lagi diingat orang lain. Ini adalah bentuk perlawanan yang tenang; meski tidak melawan secara langsung, pesan yang disampaikan tetap jelas: "Aku masih ada, aku masih ingat.”
Dalam konteks ini, Ogawa seolah ingin menunjukkan bahwa seni dan cerita adalah benteng terakhir manusia ketika semua yang lain telah direnggut. Ketika hukum, institusi, dan bahkan bahasa berada di bawah kendali kekuasaan, fiksi dan memori pribadi bisa menjadi tempat yang paling tulus untuk menjaga kemanusiaan kita.
4. Refleksi Sosial dan Filosofis
Pada akhirnya, The Memory Police tidak hanya merupakan sebuah novel tentang kehilangan dan penyensoran, tetapi juga berfungsi sebagai refleksi eksistensial yang mendalami bagaimana kenyataan dipengaruhi oleh ingatan kita. Jika semua orang melupakan sesuatu, apakah itu berarti hal tersebut benar-benar tidak pernah ada?
Masyarakat dalam novel ini digambarkan begitu pasrah, begitu terlatih dalam kehilangan, hingga mereka tidak lagi merasa kehilangan itu sendiri. Ini adalah potret masyarakat yang terbiasa ditekan, yang tak lagi punya alat untuk mempertanyakan apa pun. Mereka hidup dalam keterasingan yang sunyi, yang lambat laun menjadi bentuk keberadaan mereka satu-satunya.
Melalui kisah ini, Ogawa dengan lembut namun tajam mengajak pembaca untuk merenung: bagaimana jika kita hidup di dunia di mana kita bahkan tidak menyadari bahwa kita sedang dilupakan? Bagaimana jika kenyataan yang kita jalani sebenarnya adalah hasil rekayasa bersama, yang dijaga oleh rasa takut dan kebiasaan?
The Memory Police adalah sebuah cerita yang tenang namun sangat menggugah. Yoko Ogawa tidak memberikan jawaban pasti, namun ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang siapa kita tanpa kenangan, dan apa yang terjadi ketika kekuasaan dapat menentukan apa yang boleh kita ingat dan apa yang harus kita lupakan.
Melalui alur cerita yang perlahan dan suasana yang kelam, Ogawa menggambarkan bagaimana ingatan bisa berfungsi sebagai alat pengendali. Namun, ia juga memberikan secercah harapan melalui seni, kasih sayang, dan keberanian untuk terus mengingat, meskipun dunia di sekitar kita memilih untuk melupakan.
Novel ini menjadi peringatan bahwa ingatan bukan hanya milik individu, tapi juga fondasi dari kebebasan dan identitas kolektif. Dan ketika semuanya mulai menghilang, mungkin satu-satunya cara untuk tetap manusia adalah dengan terus mengingat meskipun itu berarti harus melawan arus lupa yang terus mendesak.
Penulis:
Najmi Rahmi Putri
Mahasiswa Jurusan Sastra Jepang
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas